Sunday 31 May 2015

dimanakah kiblat doa? terlanjur zina! pengen taubat?


Penulis: Asy Syaikh ‘Abdurrozzaq ‘Afify hafizhohullah
1) Tanya : Di manakah kiblatnya do’a ?
Jawab :
Langit adalah kiblatnya do’a dan diangkatnya tangan ke langit termasuk dalil-dalil Ahlus Sunnah (yang menunjukkan) akan ketinggian Allah Ta’ala, bahkan hewan sekalipun jika terkena musibah mengangkat kepalanya ke langit.
Dan Ka’bah juga kiblat bagi do’a sebagaimana Ka’bah adalah kiblat bagi sholat”.
(Fatawa wa Rosa`il Syaikh ‘Abdurrozzaq ‘Afify hafizhohullah jilid 1)(imam ahlusunnah abu mansur al matulidli)
banyak kita tidak menyadari bahwa seraya kita berdoa setiap hari berdoa, dan tanpa kita sadari pula kepala serta tangan kita menghadap keatas, semua itu adalah alam tidak sadar kita yang menjalankannya. kita meyakini bahwa dengan menghadap keatas atau ke langitlah doa kita akan langsung tersampaikan, dan itu tidak hanya dilakukan orang muslim, tetapi juga kaum non muslim.
semua karena itu keagungan allah yang mempunyai sifat rohman dan rahim
dan semua menghadap kesemua arah juga boleh, akan tetapi harus ada keyakinan.

2) Ada pemuda-pemudi melakukan zina beberapa waktu yang lalu. Keduanya ingin bertaubat. Pertanya

an:
Bagaimana taubatnya? Haruskah keduanya menikah? Bagaimana kalau orang tua wanita tetap tidak setuju? Bagaimana nanti status anak keduanya?
Mohon bantuannya supaya mereka berdua dapat kembali ke jalan yang benar.
Ahmad Abdullah ahm…@plasa.com
Jawaban:
Cara Taubatnya
Keduanya bertaubat kepada Allah dengan taubat nasuha yaitu dengan memenuhi tiga syarat taubat yang disebutkan oleh para ulama. Tiga syarat ini disimpulkan oleh para ulama dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Pertama, Keduanya harus menyesali perbuatan tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Sesungguhnya penyesalan itu adalah taubat.” [1]
Karena itu hendaklah keduanya menyesali apa yang telah mereka lakukan.
Kedua, melepaskan diri dan menjauhkan diri sejauh-jauhnya dari perbuatan yang seperti itu. Tidak lagi mengulangi maupun mendekati apa-apa yang akan menyeret dan mengantar kepada perzinaan, seperti pergaulan bebas dengan wanita (pacaran), berbincang-bincang secara bebas dengan wanita yang bukan mahram, bercengkerama, ikhtilath/ bercampurbaur. Semuanya adalah perkara yang diharamkan syariat untuk menutupi pintu perzinaan. Hendaknya keduanya menjauhkan diri dari itu semua.
Ketiga, kemudian keduanya ber-’azam/ bertekad kuat untuk tidak mengulangi kembali perbuatannya tersebut. Juga beristighfar kepada Allah, memohon ampunan-Nya. Dalam hal ini ada hadits Abu Bakr Ash-Shiddiq tentang disyariatkannya seseorang yang telah melakukan perbuatan maksiat untuk shalat dua rakaat lalu memohon ampunan kepada Allah.[2]
Haruskah Keduanya Menikah ?
Keduanya tidak harus menikah. Namun tidak mengapa keduanya menikah dengan syarat: apabila wanita yang telah dizinai tersebut hamil karena perzinaan itu, maka tidak boleh menikahinya pada masa wanita itu masih hamil. Mereka harus menunggu sampai si wanita melahirkan bayinya, baru boleh menikahinya. Inilah pendapat yang benar yang disebutkan oleh ulama, yaitu bahwa wanita yang hamil karena perzinaan tidak boleh dinikahi sampai melahirkan. Karena di sana ada dalil yang menuntut adanya istibra` ar-rahim (pembebasan rahim) dari bibit seseorang. Karena itu rahim harus dibebaskan terlebih dahulu dengan cara menunggu sampai lahir, sehingga rahimnya bebas tidak ada lagi bibit di dalamnya. Setelah itu baru bisa menikahinya. Itu pun apabila keduanya bertaubat dari perzinaan.
Apabila wanita yang dizinainya tidak sampai hamil, maka pembebasan rahimnya dengan cara menunggu haid berikutnya. Setelah melakukan perzinaan kemudian dia haid. Dalam kasus yang seperti ini, boleh menikahinya setelah melewati satu kali masa haid, yang menunjukkan bahwa memang tidak ada bibit yang tersimpan dalam rahimnya. Dan tentunya ini apabila keduanya bertaubat dari perzinaan.
Adapun jika salah satu dari keduanya belum bertaubat dari perzinaan tersebut, sehingga salah satu dari keduanya masih berlaku padanya nama zaani (pezina) maka keduanya tidak boleh menikah.
Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya): “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin.” (An-Nur: 3)
Maksudnya, seorang pezina diharamkan menikah dan sebaliknya wanita pezina juga haram dinikahi. Jadi bolehnya menikah adalah apabila keduanya memang sudah bertaubat dari perzinaan tersebut, sehingga tidak lagi dinamakan lelaki pezina atau wanita pezina.
Bagaimana Status Anak Keduanya ?
Ini tentunya kalau ditakdirkan bahwa wanita yang dizinai tersebut hamil akibat perzinaan tersebut. Status anak tersebut adalah anak yang lahir karena perzinaan. Anak ini tidak boleh dinasabkan pada lelaki yang berzina dengan ibunya, karena dia bukanlah ayahnya secara syariat. Oleh karena itu, sang anak dinasabkan kepada ibunya. Demikian pula tidak boleh saling waris-mewarisiJuga seandainya anak tersebut wanita, maka laki-laki tersebut tidak boleh menjadi walinya dalam pernikahan dan juga bukan mahramnya sehingga tidak berlaku padanya hukum-hukum mahram. Sehingga laki-laki itu tidak boleh berkhalwat dengannya, tidak boleh melihat wajahnya, tidak boleh berjabat tangan dengannya, dan seterusnya. Satu-satunya hukum yang berlaku adalah bahwa si laki-laki tidak boleh menikahi anak hasil perzinaan tersebut, karena anak wanita itu berasal dari air maninya. Hanya ini satu-satunya hukum yang berlaku, sebagaimana diterangkan oleh para ulama. Wallahu a’lam bish-shawab.
Catatan kaki:
[1] HR. Ahmad, Ibnu Majah, Al-Hakim dan yang lainnya dari Abdullah ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah (4252).
[2] HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan yang lainnya, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud (1021)

No comments:
Write komentar