Monday 25 May 2015

perkembangan fiqih modern di era globalisasi


A.    Latar Belakang Periode Modern Dalam Sejarah Islam
Periode modern dalam sejarah islam bermula dari tahun 1800 M dan berlangsung sampai sekarang. Diawal periode ini kondisi dunia islam secara politis berada dibawah penetrasi kolonialisme. Baru pada pertengahan abad ke-20 M, dunia Islam bangkit memerdekaan negerinya dari penjajah barat.
Periode ini memang merupakan zaman kebangkitan kembali islam, setelah mengalami kemunduran diperiode pertengahan. Pada periode ini mulai bermunculan pemikiran pembaharuan dalam islam. Gerakan pembaharuan itu paling tidak muncul karena dua hal. Pertama, timbulnya kesadaran dikalangan ulama bahwa ajaran-ajaran ”asing” yang masuk dan diterima sebagai ajaran islam. Ajaran-ajaran itu bertentangan dengan semangat ajaran islam yang sebenarnya, seperti bid’ah, khurafat, dan takhyul. Ajaran-ajaran inilah, menurut mereka, yang membawa islam menjadi mundur. Oleh karena itu, mereka bangkit untuk membersihkan islam dari ajaran atau paham seperti itu. Gerakan ini dikenal sebagai gerakan reformasi.Kedua, pada periode ini barat mendominasi dunia dibidang politik dan peradaban. Persentuahn dengan barat menyadarkan tokoh-tokoh islam akan ketinggalan mereka. Karena itu, mereka  berusaha bangkit dengan mencontoh barat dalam masalah-masalah politik dan peradaban untuk menciptakanbalance power.

B.     Sejarah Perkembangan Fiqh.
Terdapat perbedaan periodisasi fiqh di kalangan ulama fiqh kontemporer. Muhammad Khudari Bek (ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi fiqh menjadi enam periode. Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, periode keenam yang dikemukakan Muhammad Khudari Bek tersebut sesebenarya bisa dibagi dalam dua periode, karena dalam setiap periodenya terdapat ciri tersendiri. Periodisasi menurut az-Zarqa adalah sebagai berikut
1.      Periode risalah.
Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW. Pengertian fiqh pada masa itu identik dengan syarat, karena penentuan hukum terhadap suatu masalah seluruhnya terpulang kepada Rasulullah SAW.
Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah. Oleh karenanya, periode Madinah ini disebut juga oleh ulama fiqh sebagai periode revolusi sosial dan politik.
2.      Periode al-Khulafaur Rasyidun.
Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Mu'awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat. Persoalan hukum pada periode ini sudah semakin kompleks dengan semakin banyaknya pemeluk Islam dari berbagai etnis dengan budaya masing-masing.
Pada periode ini, untuk pertama kali para fuqaha berbenturan dengan budaya, moral, etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat majemuk. Hal ini terjadi karena daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah sangat luas dan masing-masing memiliki budaya, tradisi, situasi dan kondisi yang menantang para fuqaha dari kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam persoalan-persoalan baru tersebut. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru itu, para sahabat pertama kali merujuk pada Al-Qur'an. Jika hukum yang dicari tidak dijumpai dalam Al-Qur'an, mereka mencari jawabannya dalam sunnah Nabi SAW. Namun jika dalam sunnah Rasulullah SAW tidak dijumpai pula jawabannya, mereka melakukan ijtihad.
3.      Periode awal pertumbuahn fiqh.
Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidun (terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat daerah tersebut.
4.      Periode keemasan.
Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya.
Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks.
Pada awal periode keemasan ini, pertentangan antara ahlulhadits dan ahlurra'yi sangat tajam, sehingga menimbulkan semangat berijtihad bagi masing-masing aliran. Semangat para fuqaha melakukan ijtihad dalam periode ini juga mengawali munculnya mazhab-mazhab fiqh, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Upaya ijtihad tidak hanya dilakukan untuk keperluan praktis masa itu, tetapi juga membahas persoalan-persoalan yang mungkin akan terjadi yang dikenal dengan istilah fiqh taqdiri (fiqh hipotetis).
Pertentangan kedua aliran ini baru mereda setelah murid-murid kelompok ahlurra'yi berupaya membatasi, mensistematisasi, dan menyusun kaidah ra'yu yang dapat digunakan untuk meng-istinbat-kan hukum. Atas dasar upaya ini, maka aliran ahlulhadits dapat menerima pengertian ra'yu yang dimaksudkan ahlurra'yi, sekaligus menerima ra'yu sebagai salah satu cara dalam meng-istinbat-kan hukum.
Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa' oleh Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi'i, dan Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini adalah ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi'i. Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan, seperti teori kias, istihsan, dan al-maslahah al-mursalah.
5.      Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh.
Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-ta'assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab imamnya.
Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya pernyataan tersebut.
a.   Dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja.
b.  Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap kejumudan (kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid imam mazhab.
c.   Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang memudahkan orang untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti. Ulama mazhab tidak perlu lagi melakukan ijtihad, sebagaimana yang dilakukan oleh para imam mereka, tetapi mencukupkan diri dalam menjawab berbagai persoalan dengan merujuk pada kitab mazhab masing-masing. Dari sini muncul sikap taqlid pada mazhab tertentu yang diyakini sebagai yang benar, dan lebih jauh muncul pula pernyataan haram melakukan talfiq.
6.      Periode kemunduran fiqh.
Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majalah al-Ahkam al- 'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya'ban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara membabi buta.
Pada masa ini, ulama fiqh lebih banyak memberikan penjelasan terhadap kandungan kitab fiqh yang telah disusun dalam mazhab masing-masing. Penjelasan yang dibuat bisa berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari buku-buku yang muktabar (terpandang) dalam mazhab atau hasyiah dan takrir (memperluas dan mempertegas pengertian lafal yang di kandung buku mazhab), tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takrir tersebut.
7.      Periode pengkodifikasian fiqh.

 Periode ini di mulai sejak munculnya Majalah al-Ahkam al-Adliyyah sampai sekarang. Upaya pengkodifikasian fiqh pada masa ini semakin berkembang luas, sehingga berbagai negara Islam memiliki kodifikasi hukum tertentu dan dalam mazhab tertentu pula, misalnya dalam bidang pertanahan, perdagangan dan hukum keluarga. Kontak yang semakin intensif antara negara muslim dan Barat mengakibatkan pengaruh hukum Barat sedikit demi sedikit masuk ke dalam hukum yang berlaku di negara muslim. Disamping itu, bermunculan pula ulama fiqh yang menghendaki terlepasnya pemikiran ulama fiqh dari keterikatan mazhab tertentu dan mencanangkan gerakan ijtihad digairahkan kembali. Mustafa Ahmad az-Zarqa mengemukakan bahwa ada tiga ciri yang mewarnai perkembangan fiqh pada periode ini.
a.       Munculnya upaya pengkodifikasian fiqh sesuai dengan tuntutan situasi dan zaman. Hal ini ditandai dengan disusunnya Majalah al-Ahkam al-Adliyyah di Kerajaan Turki Usmani yang memuat persoalan-persoalan muamalah (hukum perdata). Latar belakang yang melandasi pemikiran pemerintah Turki Usmani untuk menyusun Majalah al-Ahkam al-Adliyyah yang didasarkan Mazhab Hanafi (mazhab resmi pemerintah) ini adalah terdapatnya beberapa pendapat dalam Mazhab Hanafi sehingga menyulitkan penegak hukum untuk memilih hukum yang akan diterapkan dalam kasus yang mereka hadapi.
b.      Upaya pengkodifikasian fiqh semakin luas, bukan saja di wilayah yurisdiksi Kerajaan Turki Usmani, tetapi juga di wilayah-wilayah yang tidak tunduk pada yurisdiksi Turki Usmani, seperti Suriah, Palestina dan Irak. Pengkodifikasian hukum tersebut tidak terbatas pada hukum perdata saja, tetapi juga hukum pidana dan hukum administrasi negara. Persoalan yang dimuat dalam hukum perdata tersebut menyangkut persoalan ekonomi/perdagangan, pemilikan tanah, dan persoalan yang berkaitan dengan hukum acara.
c.       Munculnya upaya pengkodifikasian berbagai hukum fiqh yang tidak terikat sama sekali dengan mazhab fiqh tertentu. Hal ini didasarkan atas kesadaran ulama fiqh bahwa sesuatu yang terdapat dalam suatu mazhab belum tentu dapat mengayomi permasalahan yang dihadapi ketika itu. Karenanya, diperlukan pendapat lain yang lebih sesuai dan mungkin dijumpai pada mazhab lain. Atas dasar pemikiran ini, pemerintah Kerajaan Turki Usmani mengkodifikasikan hukum keluarga yang disebut dengan al-Ahwal asy-Syakhsiyyah pada 1333 H. Materi hukum yang dimuat dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah tidak saja bersumber dari Mazhab Hanafi, tetapi juga dari mazhab fiqh lainnya, seperti Mazhab Maliki, Syafi 'i, Hanbali, bahkan juga dari pendapat mazhab yang sudah punah, seperti Mazhab Abi Laila dan Mazhab Sufyan as-Sauri.
 Pada zaman modern, suara yang menginginkan kebangkitan fiqh kembali semakin vokal, khususnya setelah ulama fiqh dan ulama bidang ilmu lainnya menyadari ketertinggalan dunia Islam dari dunia Barat. Bahkan banyak diantara sarjana muslim yang melakukan studi komparatif antara fiqh Islam dan hukum produk Barat.

C.    Paradigma Menuju Fiqih Moderen.
Sejalan dengan perkembangan ilmu fiqih dari zaman kenabian yang disebut dengan  Periode risalah dan dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). sekiranya pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW. Pengertian fiqh pada masa itu identik dengan syariat, karena penentuan hukum terhadap suatu masalah seluruhnya terpulang kepada Rasulullah SAW sendiri, hingga sampailah perkembangannya pada zaman moderen ini yang ditandai dengan pemikiran-pemikiran ulama yang mengacu pada tuntunan situasi dan zaman, pergesera-pergeseran pemikiran inilah yang mengacu timbulnya pengaruh terhadap konteks fiqih, yaitu dengan mengandalkan pemikiran fiqih antropologis dan rasionalitas hukum, dan menolak pemikiran skripturalisme, yaitu aliran yang berpegang kepada teks-teks syari'at secara kaku, ini disebabkan karena manusia pada zaman dulu sangat jauh berbeda dengan manusia pada zaman sekarang, pemahaman ini tak lagi terikat dengan bunyi teks, tapi berusaha menangkap menurutnya, makna hakiki dari teks.
Sekitar akhir abad ke-19 timbullah benih benih pergeseran paradigma cara pengambilan hukun syara’ (fiqih) dengan munculnya berbagai pemikiran di kalangan ulama ulama dari berbagai negara Islam untuk mengambil pendapat-pendapat dari berbagai mazhab serta menimbang dalil yang paling kuat diantara semua pendapat itu. Pengambilan pendapat dilakukan tidak saja dari mazhab yang empat, tetapi juga dari para sahabat dan thabi'in, dengan syarat bahwa pendapat itu lebih tepat dan sesuai dengan keadaan masyarakat secara rasional. maka pada tahun 1333 H sebagai salah satu contoh efek dri perkembangan pemikiran tersebut pemerintah Turki Usmani menyusun kitab hukum keluarga (al-Ahwal asy-Syakhsiyyah) yang merupakan gabungan dari berbagai pendapat mazhab.
Di dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah ini terdapat berbagai pemikiran mazhab yang dianggap lebih sesuai diterapkan. Sejak saat itu bermunculan kodifikasi hukum Islam dalam berbagai bidang hukum. Bahkan pada tahun 1920 dan 1925 pemerintah Mesir menyusun kitab hukum perdata dan hukum keluarga yang diambil dan disaring dari pendapat dari berbagai kitab fiqh madzhab. Dengan demikian, seluruh pendapat dalam mazhab fiqh merupakan suatu kumpulan hukum yang boleh dipilih untuk diterapkan di berbagai tempat sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosial politik maupun global, oleh karena itu upaya penerapan hukum Islam secara rasionalitas dan penyesuaian dengan kondisi masyarakat mulai berkembang. Di banyak negara Islam telah bermunculan hukum-hukum yang diambil dari berbagai pendapat mazhab, seperti di Yordania, Suriah, Sudan, Maroko, Afghanistan, Turki, Iran, Pakistan, Malaysia dan Indonesia.
Pembaharuan dalam islam atau gerakan modern islam merupakan jawaban yang ditunjukan terhadap krisis yang dihadapi umat islam pada masanya. Kemunduran progresif kerajaan usmani yang merupakan pemangku khalifah islam, setelah abad 17, telah melahirkan kebangkitan Islam dikalanggan warga Arab dipinggiran imperium itu. Yang terpenting diantaranya adalah beberapa gerakan salah satunya gerakan wahabi, sebuah gerakan reformis puritanis(salafiyyah). Gerakan ini merupakan sarana yang menyiapkan jembatan kearah pembaharuan Islam abad ke-20 yang bersifat intelektual
Katalisator terkenal gerakan pembaharuan ini adalah jamaluddin Al-Afgani(1897). Ia mengajarkan solidaritas Islam dan pertahanan terhadap imperalisme Eropa, dengan kembali kepada Islam dalam suasana yang secara ilmiah dan modernisasi

D.    Faktor- Faktor Penyebab Tidak Jalannya Penerapan Syariat Islam Diabad Modern
 Ada sejumlah faktor yang menyebabkan tidak berjalannya upaya penerapan syariat islam diabad modern ini. Diantaranya 
1.  Negara-negara islam sendiri sekarang sudah demikian maju dalam mengikuti modernisasi. Modernisasi ini meliputi bidang-bidang sosial, politik, pengembangan alat-alat produksi dan teknologi. Tidak ketinggalan pula pembangunan dibidang pemikiran dan kebudayaan dengan laju yang lebih cepat dibandingkan laju pembaharuan dibidang syariat dan fiqih.sementara itu negara-negara islam ini menyaksikan sendiri keberhasilan hukum-hukum positif yang diterapkan didunia barat.
2.  Sementara dalam hukum barat tidak ditemui, maka dalam menerapkan hukum islam akan banyak ditemui perbedaan pendapat antara beberapa mazhad mengenai masalah-masalah yang tidak ada dalil-dalilnya yang pasti.
3.  Hingga saat ini hukum-hukum islam dan fiqih belum terhimpun secara sistematis, materinya belum disusun secara kronologis sebagaimana hukum positif.
4.  Zaman modern ini dikenal sebagai zaman spesialisasi, zaman pembandingan secar kritis. Hal ini berarti bahwa pada setiap  bidang ada spesialisasinya masing-masing. Para spesialis ini tidak akan berbicara diluar bidangnya. Sementara pada fiqih islam tidak demikian.
5.  Pada umumnya pembahasan dalam setiap diskusi, muktamar, simposium dan seminar yang diadakan untuk membahas penerapan syariat islam terbatas pada ruang lingkup mazhab empat saja:( Abu Hanifah, Malik bin Anas, Imam syafi’ie dan Ahmad bin Hambal). Atau bahkan juga terbatas pada sebagian pendapat yang ada dalam literatur(kitab-kitab) fiqih yang populer.

No comments:
Write komentar