Friday, 17 April 2015

ISLAMISASI DI INDONESIA

Nusantara Dalam Jalur Pelayaran dan Perdagangan Dunia
            Pada bidang ekonomi, bangasa Indonesia menjadi unsur penetu terjadinya revolusi perdagangan dunia. Dengan pengembangan kapal bercadik menjdi jung, sektor perdagangan laut tumbuh dengan pesat. Dengan menggunakan jung sebagai armada transportasi dagang pada jalur laut, minimal tiga keuntungan yang dapat diperoleh, yaitu :
  1. Kapasitas angkut. Masyarakat Nusantara dapat mengangkut barang dagangan yang jumlahnya berlipat apabila dibandingkan dengan perlatan sebelumnya. Dengan kapasitas angkut yang dimiliki jung, pedagang menjadi lebih menghemat waktu, tenaga, dan modal.
  2. Keamana lebih terjamin. Dengan mempergunakan kapal jung, pelyaran menjadi lebih nyaman dan aman karena lwbuh mampu mengahadapi berbagai halangan di tengah laut, seperti badai dan perompak.
  3. Jangkauan lebih luas. Kekuatan yang dimiliki kapal jung menjadikannya mampu menempuh pelayaran dengan jarak jauh. Pedagang Nusantara menjadi mampu menjangkau berbagai bangsa yang belum pernah dikunjungi.
Berbagai keuntungan yang disediakan oleh jalur perdagangan  mengakibatkan para pedagang internasional berangsur-berangsur lebih memilih jalur jalur laut sejak zaman Sriwijaya. Peran besar yang dimainkan oleh bangsa Indonesia dalam perdagangan laut internasional mendorong berbagai bangsa untuk ikut melibatkan diri. Pelabuhan-pelabuhan yang dibangun berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan dunia. Bangsa-bangsa yang tercatat aktif melakukan transaksi dagang adalah bangsa Cina dan India. Sudah sejak lama kedua bangsa ini menjali nhubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan Nusantara. Pada masa-masa selanjutnya semakin banyak bangsa asing yang ikut terlibat, seperti Jepang dan bangsa-bangsa yang beragama Islam. Pedagang Islam itu tidak berasal dari satu bangsa, melainkan dari berbagai bangsa  di sekitar Arab, antara lain Persia (Iran), Gujarat (India), dan Hadramaut (Yaman Selatan).
Para pedagang Persia, Gujarat, dan Hadramaut yang datang ke Indonesia berupaya mencari simpati dari masyarakat setempat. Mereka mendekati para raja dan bangsawan yang memegang peranan dalam dunia perdagangan. Mereka juga bergaul akrab dengan para penduduk yang didatangi. Melalui upaya inilah, komunikasi antara para  pedagang dan penduduk berlangsung dengan lancar. Selain itu, transaksi jual beli menjadi sesuatu yang saling menguntungkan.
Ketika hendak kembali, para pedagang asing itu menunggu perubahan arah mata angin sambil duduk dengan berbagi pengalaman dan tukar menukar pendapat. Dari sini ajaran Islam tersampaikan. Banyak penduduk yang mencoba memhaminya hingga akhirnya memeluk Islam.
Dalam Poses Islamisasi di Nusantara  peranan para pedagang muslim sangatlah penting artinya, baik pedagang dari golongan Raja dan keturunannya, kaum hartawan yang menanamkan modalnya dalam suatu saha perdagangan, ataupun sebagai golongan pedagang kelontongan yakni pedagang keliling. Kondisi ini meyebabkan kedatangan Islam di berbagai daerah di Indonesia tidakalah bersamaan, karena sangat bergantung pada persinggahn para pedagang muslim. Penharuh ajaran Islam pun tidaklah sama antara daerah yang satu dengan lainnya disebabkan adanya keterkaitan yang erat dengan daerah yang sudah dipenagruhi oleh Hindu-Budha atau yang belum sama sekali mendapatkan pengaruh Hindu-Budha.
Jadi tidaklah salah jika awal sejarah masuknya Islam di Indonesia masih menjadi problema dalam sejarah karena sedikitnya data yang memungkinkan untuk merekontruksinya sejarah, “disamping tidak seragamnya pengenalan Islam terhadap seluruh kawasan, juga tingkat penerimaan Islam pada satu bagian wilayah dengan wilayah yang lain tidak hanya bergantung pada waktu pengeanalnnya, tetapi juga bergantung pada watak budaya lokal yang dihadapi Islam” (Azra, 2002, hlm.19)
Fleksibiltas ajaran Islam merupakan unsur penting dalam pelaksanaan Islamisasiny. Tetapi yang perlu juga diperhatikan adalah bagaimana sebenarnya peranan Indonesia (Nusantara) dalam jalur perdagangan dan pelyaran dunia dalam rangka penyebaran dakwah Islam di kawasn ini sangatlah penting, karena dapat memberikan gambaran kapan dan dimana pertama kali Islam masuk ke Indonesia.
Indonesia yang terletak di bagian ujung Dunia Muslim, banyak memberikan kontribusi bagi lalu lintas hubungan pelayaran dan perdagangan kawasan Nusantara dengan Timur Tengah, Asia Timur, Asia Selatan dan Afrika termasuk dunia Barat. Srateginya letak geografis Nusantara ini dapa dilihat pada “peta sejarah” dalam jalur pelayaran dan perdagangan dunia yang berimplikasi pada masuknya Indonseia pada abad ke-7 M” (Yamin, 1956, hlm. 7-9).
Indonesia merupakan daerah khatulistiwa yang sangat strategis menghubungkan antara kawasan Asia Tenggara, Asia Timur, Asia Tengah, Asia Barat, Asia Selatan maupun Afrika dan Teluk Persia.  Dan sejak awal Masehi dalam lalu lintas pelayaran dan perdagangan dunia dapat ditempuh melalui dua jalur perdagangan yaitu sebagai berikut :
  1. Melalui jalur darat yang dikenal dengan sebutan “Jalur Sutera” yakni dari Cina melalui Asia Tengah dan Turkistan sampai Laut Tengah hingga jalan mengubungkan antara Cina dengan kafilah-kafilah dari India dan Persia. Barang niaganya tetutama adalah kain sutera.
  2. Melalui Laut yaitu dari Cina dan Indonesia melalui Selat Malaka ke India, Teluk Persia, Laut Merah dan Afrika. Atau sebaliknya dari Teluk Persia, Afrika, India, Indonesia, Selat Malaka dan Asia Timur. Komoditinya terutama adalah rempah-rempah.
Kepesatan pelayaran dan perdagangan melalui Selat Malaka dan pesisir
Barat Sumatera sejak abad ke-7 M ini, sangat memungkinkan untuk terjadinya akulturasi kebudayaan dan peradaban.
            Perlak (Aceh) yang terletak di ujung pulau Sumatera merupakan terminal bagi bertemunya anatar pedagang dari afrika, Arab, India dan Cina yang memberikan kontribusi kebudayaan terutama budaya Islam pada penduduk setempat, karean aktivitas pelayaran dan perdagangan para saudagar Islam selain berniaga, mereka juga banyak bertindak sebagai mubaligh. Sebagaiman yang dikayakan oleh J. Paulus dalam Hasymy (1990, hlm.6) “(Aceh) Perlak merupakan stasiun perantara bagi para pedagang Islam dan dakwah Islam.”. Disinilah arti penting Aceh sebafgai kawasn Indonesia pada awal abad ke-1 H atau abad ke-7 M yang turut serta dalam kancah perdagangan dunia memberikan transformasi dalam tatanan ekonmi, poltik dan sosial budaya dalam sejarah Indonesia. Aceh sebagai bagian dari wilayah Indonseia yang terletak di Pulau Sumatera, sebelum masuknya Islam, merupakan daerah yang sudah dihuni oleh manusia pemakan kerang yang bermukim di sepanjang Pantai Sumatera Timur Laut, yang dapat dibuktikan dari sisa-sisa makananya dan perlatan makan yang ditemukan, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Aceh telah memiliki kebudayaan.
            Jika diperhatikan, ajaran suatu agama akan membawa pegaruh besar bagi pola-poal budaya dalam segala aspek kehidupan suatu masyarakat dalam mencapai suatu tujuan hidup secara utuh, hal demikian menunjukkan bagaimana sebenarnya bahwa melalui agama yang dianut suatu masyarakat dalam periode tertentu dapat memberikan gambaran sejarah tatanan kehidupan masyarakatnya.
            Konsep masuknya Islam di Nusantara pun mencoba menelusuri artefak-artefak yang bercorak Islam sebagai peninggalan budaya agama sehingga para ahli sejarah dapat berusaha menentukan kapan hasil-hasil budaya ini dibuat oleh suatu masyarakat dan menentukan apakah corak hasil budaya ini asli dari masyarakat itu sendiri atau ada hubungannya dengan pola-pola budaya dari luar masyarakt itu sebagai damapk akulturasi. Tadisi pelayaran dan perdagangan di Asia Tenggara dan Indonesia sebagai kawasan Nusantara ini memberikan catatan sejarah dalam proses Islamisasi di Indonesia dengan berbagai tahapan-tahapan yang dilaluinya.


Deskripsi Para Ahli Tentang Masuknya Islam di Nusantara
            Sejarah masuknya Islam di Nusantara menimbulkan banyak tafsiran dari para ahli sejarah dengan argumentasinya yang mempertanyakan kapan, dimana dan bagaiaman proses masuknya Islam di Indonseia. Wacana ini sudah diungkapkan melalui berbagai seminar yang dilakukan para ahli sejarah baik Barat maupun Timur. Barat cenderung mengatakan masuknya Islam di Nusantara abad ke-13 M, yang antara lain dipelopori oleh Snouck Hugronye, J.P. Moquete, R.A. Kern Pijnappel. Sementara para ahli Sejarah Timur lebih memusatkan perhatian pada baad ke-7 M dipelopori oleh Prof. Hamka, T. W. Arnold, Syed Naguib Al Atta yang berpendapat bahwa sebelum abd ke-7 M sudah terjalin hubunngan perdagangan dan pelayaran bangsa Arab, India dan Cina di Indonesia (Nusantara), melalui Pantai Timur Sumatera. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada beberapa teori yang diungkapakan para ahli sejarah tentang deskripsi masuknya Islam di Nusantara yaitu sebagai berikut :

1.   Teori Gujarat (India)
Teori ini berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonseia pada abad ke-13 dan pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar teori ini adalah: Pertama, kurangnya fakta yamg menjelasakan peranan bangsa Aab dalam penyebaran di Indonesia. Kedua, karena adanya hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia-Cambay-Timur Tengah-Eropa. Ketiga, adanya batu nisan Sultan Samudera Pasai yaitu Malik Al Saleh tahun 1297 yang bercorak khas Gujarat (Azra, 2002, hlm 22).
Pendukung teori Gujarat (India) ini antara lain dikemukakan oleh beberapa sarjana Belanda seperti Pijnapel, Snouck Hourgronje, Moqutte yang juga memiliki pandangan yang berbeda bahwa Islam pertama kali datang ke Indonesia sekitar abad  ke-13 berasal dari India. Pinnapel berpendapat bahwa Islamisasi di Indonesia dilakukan oleh orang-orang Arab melalui India, terutama Gujarat dan Malabar, dengan argumentasinya bahwa “ada persamaan antara mazhab Syafi’i di India dengan Indonesia. Mazhab Syafi’I ini dibawa oleh orang Arab yang bermigrasi dan menetap di Gujarat dan Malabar dan kemudian melalui perdagangan membawa Islam ke Indonesia” (Azra, 2002, hlm.24). Sementara Snouck hourgronje berpendapat bhawa “Islam pertama kali masuk ke Indonesia bukan berasal dari Arab, tetapi dari India karena sudah lama terjalin hubungan dagang antara India dengan Indonesia dan adanya inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatera mengindikasikan adanya hubungan antara Sumatera dengan Gujarat” (Suryanegara, 1996, hlm.75).
Tampak perbedaan yang nyata dari kedua ahli Belanda ini menelusuri asala masuknya Islam ke Nusantara dengan berbagai argumen yang diajukan dan tetap berspekulasi antara abad ke-12 dan ke-13 merupakan awal masuknya Islam ke Indonesia, meskipun akhirnya Snouck mengatakan “Muslim Dhaka adalah sebagai perantara dalam perdagangan antara Muslim Arab terutama yang mengaku sebagai keturunan Rasulullah Saw. dan menjalankan dakwah Islam dengan Indonseia (Azra, 2002:25). Jelas di sini Snouck secara impilsit menagkui bahwa Islam tetap berasal dari Muslim Arab.
Sementara itu Moquette mengatakan bahwa “memang ada persamaan antara gaya batu nisan Makam Sultan Nahrasyah yang ada di Pasai (Aceh) 1428 M dan di Gresik 1419 M (Jawa Timur) nisan Makam Malik Ibrahim dengan batu nisan yang ada di Cambay (Gujarat) nisan Makam Umar Ibn AL kazaruni tahun 1333 M. Sehingga hal ini menunjukkan ada hubungan antara Indonesia dengan Gujarat” (Yusuf, 2006, hlm.36). spekulasi Moquette ini jelas menunjukkan batu nisan dari Gujarat tidak hanya diproduksi untuk pasar loakal tetapi juga untuk di ekspor ke luar negeri seperti indonesia, dengan demikian Moquette menganggap secara tidak langsung orang Indonesia juga mengambil Islam dari wilayah Gujarat. Tetapi ada yang mengganjal jika diperhatikan tahun pada batu niasan di Pasai dengan di Gresik seolah-olah pengaruh Islam pertama kali masuk di Gresik. Deskripsi para ahli yang mendudkung teori Gujarat ini lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam.

2.   Teori Arab (Mekkah)
Teori ini merupakan teori yang baru muncul sebagai sanggahan terhadap teori lama yaitu Gujarat. Teori Makkah berpendapat Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 dan pembawanya berasal dari Arab (Mesir). Dasar teori ini adalah : Pertama, pada abad ke-7 yaitu tahun 674 di panatai Barat Sumatera sudah terdapat perkampungan Islam (Arab), dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan berita Cina. Kedua, Kerajaan Samudera Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, dimana pengaruh mazhab Syafi’I terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah. Sedangkan Gujarat atau India adalah penganut mazhab Hanafi. Ketiga, Raja-raja Samudera Pasai menggunakan gelar Al-Malik, yaitu gelar tersebut bersala dari Mesir.
            Demikian Hamka dalam seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan 1963, “menolak kesimpulan Gujarat yang mengabaikan pernan orang Arab dalam penyebaran agama Islam di Indonesia, sementara orang Arab memiliki kekuatan perdagangan dan pelayaran, sedangkan Gujarat hanya merupakan kota persinggahan” (Hasymy. 1981, hlm. 222). Selanjutnya Hamka (Hasymy, 1981, hlm. 221)mengatakan tidaklah salah jika dikatakan “Aceh sebagai Serambi Mekkah, karena merupakan suatu kenyataan sejarah, Aceh adalah tempat awal kerajann Islam di Indonesia, dan sebagai tempat pusat pendidikan Agama Islam”, di sini Hamka bertitik tolak pada Ulama Besar yang dimiliki Aceh yaitu Syaikh Aminuddin dan Abdurrauf as Sinkily, Hamzah Fanshuri, Nurruddin ar-Raniry, yang banyak memberikan ilmu Syariat dan Haqiqat pada masyarakatnya yang berpengaruh terhadap perkembangan Islam di Indonesia.
            Untuk meluruskan pandangan para ahli sejarah di atas ada baiknya memperhatikan pandangan dari Thomas Arnold yang mengatakan “Islam masuk ke Indonesia berasal dari Arab, dimana para pedagang Arab membawa Islam saat mereka menguasai perdagangan antara Barat dan Timur sejak awal abad ke-7 M dan abad ke-8 M. Dapat diduga mereka juga menyebarakan agama Islam ke Indonesia” (Yusuf, 2006, hlm. 38). Pandangan Arnold ini dapat dipertimbangkan, karena berdasarkan sumber Cina, menyatakan “menjelang abad ke-7 M seorang Arab pernah menjadi pemimpin pemukiman Arab Muslim di pesisir Barat Sumatera. Beberapa orang Arab ini melakuakan kawin campur dengan penduduk pribumi sehingga kemudian membentuk sebuah komunitas Muslim” (Azra, 2002:27).
            Dalam historigrafi tradisional, seperti dalam Hikayat Raja-Raja Pasai (1350 M), disebutkan bahwa Syaikh Ismail datang dari Mekkah melalui Malabar menuju Pasai dan mengislamkan raja Pasai Merah Siluyang kemudian bergelar Malik al Shalih. Dalam Sejarah Melayu (1500 M) menerangkan tentang Parameswara penguasa Malaka, diislamkan oleh Sayyid Abd al-Aziz seorang Arab yang berasal dari Jedah, setelah menganut agama Islam, Parameswara bergelar Sultan Muhammad Syah. Kemudian dalam Hikayat Merong Mahawangsa menjelaskan bahwa penguasa Kedah Phra Ong Mahawangsa, para menteri dan rakyatnya diislamkan oleh Syaikh Abd Allah Yamani yang datang dari Mekkah. Setelah menganut agama Islam Phra Ong Mahawangsa bergelar Muzafah Syah. Jelas sekali dalam pengislaman di wilayah jalur pelayaran dan perdagangan internasional” (Hamka, 1963, hlm. 17). Demikian Azra (2002, hlm. 31) mengungkapakan empat hal yang disampaiakn historiografi tradisional yang berkaitan dengan Islamisasi di Indonesia yaitu :
1.      Islam Indonesia dibawa langsung dari tanah Arab.
2.      Islam diperkenalkan oleh para guru atau juru dakwah yang profesional.
3.      Yang pertama kali masuk Islam berasal dari kalangan penguasa.
4.      Sebagian besar juru dakwah itu datang ke Indonesia pada abad ke-12 M dan abad ke-13 M, walaupun sejak abad ke-1 H atau abad ke-7 M sudah ada orang Indonesia yang menganut agama Islam, tetapi masih dalam taraf pengenalan dan baru pada abad ke-12 s/d abad ke-16 pengaruh Islam di Indonseia tamapak lebih jelas dan meluas.

Dari keterangan di atas dapat dipahami, argumentasi dalam teori Arab lebih menekankan pada peranan kaum Muslim Arab sendiri yang melakuakn Islamisasi baik karena adanya motif ekonomi, sosial-budaya maupun politik.

3.   Teori Cina
            Teori ini menyatakan bahwa Islam datang bukan dari Timur Tengah, Arab maupun Gujarat ataupun India tetapi dari daratan Cina, dimana pada abad ke-9 M banyak orang Muslim Cina di Kanton dan wilayah Cina Selatan yang mengungsi ke Jawa, sebagian ke Kedah dan Sumatera karena “pada masa pemrintahan Huan Chou terjadi penumpasan terhadap penduduk Kanton dan wilayah Cina Selatan yang mayoritas pendudknya beragama Islam” (Alqurtuby, 2003, hlm. 215).
            Memang tidak dapat dipungkiri penagruh Cina sangat kental dalam arsitektur pada Masjid kuno di Demak, Banten. Selain itu perlu diketahui juga “pada abad ke-8 M s/d 11 M sudah ada pemukiman Arab Muslim di wilayah Cina  dan di Campa yang memnag sudah mengadakan hubungan perdagangan dengan Indonesia” (Yusuf, 2006, hlm.42).
            Pada teori Cina ini telah menunjukkan bahwa berdasarkan fakta sejarah dengan artefak-artefak yang antara alin terdapat arsitektur Masjid, juga memberikan gambaran hubungan antara Cina  dan wilayah Indonesia memang sudah terjalin sebelum abad ke-7 M dan berdasarkan beberapa catatan sejarah, Raden Fatah sebagai sultan yang berperan dalam penyiaran agama Islam adalah keturunan Cina yang mempunyai nam Cina Jin Bun, Sunan Ampel atau Raden Rahmat nama Cinanya Bong Swi Hoo (de Graaf, 1998, hlm. Vii). Jadi teori ini memberikan juga gambaran bahwa Islam pun kemungkinan besar bersal dari daratan Cina.

4.    Teori Persia
            Dalam teori ini lebih menekankan pada Islam masuk ke Indonsia abad ke-13 dan pembawanya berasal dari Persia (Iran). Dasar teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia. Yang diungkapakan oleh Hosein Djajadininggrat (1963, hlm. 102) menyatakan bahwa :
            “Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 M di Sumatera yang berpusat di Samudera Pasai, pembawanya bersal dari Persia (Iran) dengan argumentasinya adanya persamaan budaya yang berkembang dikalangan masyarakat Indonesia dengan budayua yang ada di Persia seperti adanya peringatan 10 Muhram atau Asyura yang merupakan tradisi yang berkembang dalam masyarakat Syiah untuk memperingati hari kematian Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad. Di Sumatera Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro. Kemudian adanya persamaan antara ajaran al-Hallaj, tokoh sufi Iran Syeikh Siti Jenar”.
            Teori ini ditunjang dengan pendapat Mueas dalam Boekhari (1971, hlm. 22) yang menyatakan “pada abad ke-5 M, pada masa raja-raja Sasanid, banyak orang-orang Persia dan ulamanya sperti Tajuddin al-Syirazi dan Syyaid Syarif al-ashbahani yang berada di Aceh dan kata Pasai bersal dari kata Persia”. Sebagaimana pendapat dari Pijnapel mengatakan bahwa Islam di indonesia, “disamping dari Arab juga mendapat pengaruh dari Persia, dengan bukti adanya jalur perdagangan dari Teluk Persia ke Pantai Barat India dan terus menuju kawasan Asia Tenggara melalui selat Malaka” (Boekhari. 1971,  hlm. 21).

            Menyimak uraian di atas, dapatlah dipahami bagaimana masing-masing para sejarawan menyimpulkan dengan teori-teori yang dikemukakannya lebih banyak merefleksikan argumentasinya pada masalah masuknya Islam di Indonesia sebagai akibat dari adanya hubungan antara para pedagang Arab, India, Cina, Persia, yang didukung oleh letak geografis Indonesia yang sangat strategis sebagai jalur pelayaran dan perdagangan antar pedagang anatar pedagang tersebut, yang lebih terfokuskan pada wilayah ujung Barat dan Timur Sumatera karena daerah ini sebagai kota bandar yang harus disinggahi lebih dahulu sebelum selat Malaka menuju kawasan Asia Timur terutama daratan Cina.
            Tentu keempat teori tersebut masing-masing memliki kebenaran dan kelemahannya. Dengan berbagai deskripsi yang dipaparkan maka Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai pada abad ke-7 dan mengalami perkembangannya pada abad ke-13 sebagai kekuatan politik. Yang memegang peranan dalam penyebarannya adalah para pedagang bangsa Arab, Persia dan Gujarat (India) dan para pedagang Cina yang sudah memeluk ajaarn Islam.

No comments:
Write komentar