Friday, 17 April 2015

BAGAIMANAKAH SEJARAH BAHASA JAWA KUNO DAN SASTRANYA? YUK KITA BACA !!!!!!


1.            SEJARAH DAN PRASEJARAH BAHASA JAWA KUNO
Tanggal 25 maret tahun 804 merupakan suatu tanggal yang sesuai untuk mengawali tinjauan kita mengenai sastra jawa kuno. Karena pada waktu itu telah adanya prasasti Sukabumi. Prasasti tersebut merupakan piagam pertama yang menggunakan bahasa jawa kuno dan sejak itu bahasa itulah yang dipakai dalam kebanyakan dokumen resmi.
Untuk mengetahui lebih banyak lagi tentang bahasa jawa kuno sebelum tahun 804 harus mengandalkan sumber yang ditulis dalam suatu bahasa yang bukan menggunakan bahasa jawa kuno akan tetapi bahasa Indonesia ataupun bahasa daerah lain.
Seperti halnya seorang warga Cina yang bernama I Ching dalam perjalanannya dari Cina ke India ia singgah di Sumatra ( Sriwijaya dan Melayu ) sampai delapan bulan untuk mempelajari tata bahasa Sanskerta. Kemudian dalam perjalanan pulang ia kembali lagi ke Sriwijaya dan tinggal disana lebih daripada sepuluh tahun lamanya sambil menyalin teks-teks yang ada sangkut pautnya dengan ajaran agama Budha dan menerjemahkannya dalam bahasa Cina. Prasasti-prasasti yang dibuat di Sriwijaya pada waktu I Ching tinggal disana bahwa bahasa melayu kuno digunakan dalam dokumen-dokumen resmi.
Bahasa jawa kuno termasuk rumpun bahasa yang dikenal sebagai bahasa-bahasa Nusantara dan yang merupakan suatu sub-bagian dari kelompok linguistis Austronesia. Diantara bahasa-bahasa Nusantara itu yang secara kasar meliputu 250 bahasa, dan terdapat beberapa yang membanggakan suatu kesustraan yang cukup luas. Jawa kuno menduduki tempat istimewa karrena karya-karya sastranya yang tertua.
J.Gonda mengemukakan pengaruh Sanskerta terhadap bahasa-bahasa Nusantara, yaitu :”secara linguistis pengaruh India terhadap daerah-daerah Indonesia yang mengalami proses Hinduisasi tidak mengakibatkan semacam pembauran.
2.  PENGARUH INDIA TERHADAP BAHASA JAWA KUNO; PERANAN BAHASA SANSKERTA
Dalam kesepuluh abad pertama dari penanggalan masehi, bahasa Sanskerta tidak lagi dipakai di India, ditempat manapun, sebagai bahasa pengantar dalam pergaulan sehari-hari. Bahasa Sanskerta merupakan bahasa ilmu sastra dan bahasa yang dipakai dalam lapisan atas masyarakat, khusus istana; selain itu juga dipakai dalam kalangan agama, baik dalam sastra keagamaan (kecuali dalam sebagian sastra Buddha yang mempergunakan Pali sebagai bahasa keramatnya) maupun untuk keperluan ibadat.
Bahasa Sanskerta lebih dekat dengan bahasa-bahasa pribumi Indo-Arya daripada bahasa Latin pada bentuk-bentuk bahasa rakyat di Eropa pada masa itu;
Pengaruh India pada bahasa Jawa Kuno hampir melulu terbatas pada bahasa Sanskerta sebagai akibat kontak-kontak social biasa, atau khususnya sebagai akibat perkawinan antara orang Indonesia dengan orang asing keturunan India yang menetap di Jawa, entah untuk sementara atau untuk selamanya. Diduga, bahwa kata-kata pinjaman dari India yang masuk dalam bahasa Jawa Kuno memperlihatkan bentuk bahasa pribumi di India.
Persoalan yang ada kaitannya dengan apa yang diuraikan diatas ialah bentuk diangkatnya kata-kata  Sanskerta dalam Jawa Kuno.
Bila kita menyimpulkan apa yang diuraikan diatas, maka dapat dikatakan, bahwa unsure-unsur asing dibaurkan kedalam bahasa Jawa Kuno sedemikian rupa, sehingga susunan dan sifatnya sebagai suatu bahasa Nusantara tetap utuh. Dari lain pihak perlu dicatat, bahwa dalam meminjam dan mencangkokkan kata-kata dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain, kata-kata Sanskerta pada umumnya tidak mengalami suatu perubahan fonetis. Berlainan dengan apa yang kita saksikan dalam bahasa-bahasa Nusantara yang lainnya, maka tidak kelihatan satu bekas bahwa kata-kata Sanskerta itu disesuaikan dengan pola-pola bunyi dalam bahasa Jawa Kuno. Bunyi-bunyi yang asing bagi bahasa yang menerimanya tidak diselaraskan atau diganti dengan bunyi-bunyi yang lebih biasa atau yang lebih mudah diucapkan, sekurang-kurangnya sejauh ini dapat disimpulkan dari cara penulisan.
Alasan yang mendorong para pengarang untuk memasukkan kata-kata Sanskerta kedalam karya sastra mereka, khususnya dalam puisi mereka, ialah keinginan mereka untuk memperkaya kosa kata; khusus untuk menaati aturan-aturan ketat yang berkaitan dengan metrum dan naik turunnya suara, mereka harus mengandalkan suatu persediaan kata-kata sinonim atau hampir sinonim yang panjangnya tidak samasera suku-suku kata yang kuantitasnya juga berbeda-beda.
Bahasa Sanskerta yang demikian mendalam dan luas mempengaruhi segala peninggalan tertulis dari jaman Jawa Kuno, baik berupa prasasti maupun sastra, merupakan bahasa yang dipakai oleh para pujangga dan orang-orang terpelajar. Ini juga berlaku bagi bentuk bahasa Jawa Kuno yang dipakai dalam sumber-sumber kita dan inilah satu-satunya bentuk yang kita kenal.
Mengenai pengaruh bahasa dan sastra Sanskerta, kita dapat membayangka pada kurun waktu yang sama teradapat situasi yang kurang lebih serupa di Negara-negra tetangga di Asia Tenggara, khususnya di Campa dan Kampuchea. Gonda berbicara tentang “pemeliharaan intensif terhadap sastra Sanskerta di Campa” lalu melanjutkan: “Berdasarkan prasasti-prasasti yang telah diterbitkan jelaslah sudah bahwa sekurang-kurangnya sampai abad ke-10 kavya dan jenis-jenis sastra Sanskerta klasik lainnya dipelajari demikian mendalam, sehingga sastra pribumi diabaikan sama sekali.
Terdapat suatu perbedaan yang jelas antara pulau Jawa di satu pihak dan Campa dan Kampuchea di pihak dalam pengungkapan taraf pengaruh Sanskerta. Kita tidak mempunyai bukti-bukti langsung bahwa buku-buku baru di Jawa ditulis dalam Sanskerta, apalagi bahwa bahasa Sanskerta dipelajari dengan demikian mendalam, sehingga sastra dalam bahasa pribumi menjadi musna. Memang benar, seperti akan lihat, bahwa abad ke-9 dan ke-10 hanya sedikit yang sampai ke tangan kita dengan selamat, tetapi ini juga dapat diakibatkan oleh sebab-sebab lain; sastra pribumi yang kita miliki dari abad-abad berikut justru membubarkan, bahwa studi terhadap bahasa dan sastra pribumi tidak diabaikan, justru sebaliknya.
Maka dari itu agar terburu-buru sekiranya kita menyimpulkan, bahwa cara bahasa Sanskerta mempengaruhi kehidupan dan kebudayaan di Campa, seperti yang telah ada, dapat dijadikan pararel mengenai apa yang terjadi di Jawa. Di sini, di pulau Jawa, kelihatan bahwa unsure-unsur pribumi jauh lebih penting. Sastra Jawa menyerap pengaruh India dengan suatu cara yang lebih bebas, tanpa kehilangan identitasnya sendiri;ini mungkin merupakan suatu bukti bagi teori, bahwa pengaruh India di Jawa lain daripada di negri-negri yang mengalami Hinduisasi di daratan Asia Tenggara;pokoknya proses “Hinduisasi” lain di Jawa, lain di Campa dan Kampuchea. Perbedaan histories dan geografis mungkin juga menerangkan untuk sebagian kenyataan yang pasti berkesan kepada setiap orang yang mempelajari sejarah sastra di provinsi tenggara “India Raya” ini, yaitu bahasa Jawa purba itu telah mewariskan suatu jenis kesusatraan yang ditulis dalam bahasa pribumi yang luas lagi aneka ragam, sedangkan sastra Khmer dan Campa Kuno demikian sedikit kita warisi, sehingga kita akan menyangsikan apakah pernah ada suatu kesusastraan pribumi di negeri-negeri itu sepanjang kurun waktu mereka demikian dekat pada kebudayaan India.
Kesimpulan tersebut ditolak Coedes dengan tegas. “Kaum bangsawan yang mewariskan kepada kita candi Angkor yang mengagumkan itu tidak hidup tanpa kebudayaan, dan kebudayaan itu tidak hanya disalurkan lewat bahawa Sanskerta.”
Sekedar untuk menerangkan, mengapa tidak ada suatu bekas sastra yang dahulu pasti pernah ada sampai kepada kita, ia menunjukkan kepada bahan tulisannya yang mudah rapuh dan tidak dapat bertahan terhadap gangguan serangga dan keadaan iklim yang tidak menguntungkan itu. Tetapi factor-faktor tersebut juga berlaku untuk keadaan di pulau Jawa. Maka dari itu ada sebab-sebab lainnya juga. Coedes memang tidak khilaf akan hal itu. Dan ia bertanya, mengapa pengaruh kebudayan Khmer terhadap Muang Thai pada abad ke-13 dan ke-14 mengakibatkan suatu perkembangan dalam bidang sastra yang berlangsung terus selama abad-abad berikut di negeri itu, sedangkan di Kampuchea itu sendiri, negeri aslanya, tidak ada satu berkas pun? Coedes yakin, bahwa sebabnya harus dicari dalam situasi sejarah. “Sejarah negeri itu merupakan suatu rangkaian peperangan dahsyat. Jelaslah bahwa baik kreativitas sastra maupun minat terhadap hasil karyanya, sebagai syarat mutlak untuk menyelamatkannya, tidak dapat meloloskan diri dari kehancuran peperangan-peperangan itu.
Adapun sejarah di pulau Jawa menempuh jalannya sendiri dan meskipun di Jawa pun ada factor-faktor yang dapat menghancurkannya, namun sastra Jawa Kuno diselamatkan sampai hari ini. Nanti akan kita lihat, bagaimana ini dapat diusahakan. Namun pertanyaan yang timbul ialah, hanya keadaan eksteren sajakah, syarat mutlak untuk menyelamatkannya, yang mengakibatkan sastra Jawa itu selamat dari nasib yang menimpa sastra-sastra lainnya yang telah tiada. Secara intrinsic sastra Jawa lebih cocok untuk menghadapi segala kemalangan. Hanya secara kebetulan sajakah sastra Jawa Kuno satu-satunya kesusastraan yang selamat di tengah-tengah banyak kesusastraan lainnya yang serupa, baik menurut jenis maupun menurut mutunya. Sejak permulaan sastra Jawa Kuno itu memang lain daripada yang lain, sehingga menurut dasarnya lebih siap untukstruggle for survival itu. Kita hanya dapat mengakui bahwa kita menghadapi sejumlah pertanyaan yang tidak terpecahkan. Satu-satunya hiburan kita ialah kenyataan adanya suatu kesusastraan yang kaya, sebuah oasis di tengah-tengah gurun pasir.
Pada zaman dahulu ada hipotesa yang mengatakan bahwa ada 2 bentuk bahasa jawa kuno, yang satu lisan dan lainnya tertulis. Menurut yang saya tangkap dari pernyataan tersebut berarti pada zama dahulu itu ada sebuah legenda ataupun mitos yang menjadikan ada hipotesa ada bahasa jawa kuno berbentuk lisan, sedangkan yang tulis jelas ad dalam sebuah naskah-naskah yang masih ada sampai sekarang.
Kenapa bahasa jawa kuno tetap ada sampai sekarang (sekalipun sudah tidak digunakan dalam pergaulan sehari-hari), hal iti dikarenakan karena adanya unsure-unsur asing yang masuk  yang dibaurkan kedalam bahasa jawa kuno sedemikian rupa, sehingga susunan dan sifatnya sebagai suatu bahasa Nusantara tetap utuh dan terpelihara.
Pada masa itu bahasa Sanskerta yang demikian mendalam dan luas bias mempengaruhi segala peninggalan tertulis dari zaman jawa kuno, baik berupa prasasti maupun sastra. Itu semua merupakan bahasa yang dipakai oleh para pujangga dan orang-orang terpelajar.
3.            KERANGKA HISTORIS SASTRA JAWA KUNO
Pada waktu dokumen-dokumen ditulis, yaitu pada abad ke-9, pusat kekuasaan politis dan kehidupan kebudayaan terdapat di jawa tengah. Dan kemudian sekitar tahun 930 pusatnya bergeser kearah timur (wilayah jawa timur) dam sejarah Jawa Tengah berabad-abad lamanya diliputi kabut gelap; tak ada satu dokumen atau peninggalan karya seni atau karya arsitektur yang dapatmenerangi periode itu. Di Jawa Timur wangsa yang berkuasa berkedudukan di lembah Kali Brantas, bagian hulu. Pendiri wangsa ialah Sindok yangjuga disebut-sebut dalam prasasti-prasasti dari Jawa Tengah sebelum tahun 930, dan dia keturunan raja Jawa Terngah yang terakhir. Sebab-sebab yang melatar belakangi perpindahan ke daerah jawa timur dikarenakan terdapat beberapa hal. Pada tahun1016 kerajaan Jawa Timur mengalami suatu bencana dasyat, mungkin juga suatu serangan dari suatu kekuasaan asing luar Jawa. Dan kejadian itu menamatkan Sindok yang berkuasa pada saat itu kemudian terjadilah suatu periode yang penuh dengan kekacauan. Muncullah saat Erlangga, anak seorang putri raja Dharmawangsa dan Udayana, seorang pangeran dari Bali, berhasil merebut kembali kekuasaan dan setelah suatu perjuangan lama ia memulihkan kembali kesatuan kerajaan.
Raja Erlangga yang telah memulihkan kerajaan Jawa Timur serta kesatuannya rupanya untuk sebagian sekurang-kurangnya meniadakan hasil perjuangannya, karena sebelum mangkatnya ia membagikankerajaan kepada kedua puteranya. Perbuatan tersebut melahirkan kerajaan Jenggala dan Kadiri.
Pada tahun 1222 kerajaan kadiri tamat, rajanya dikalahkan dan gugur dalam suatu pertempuran. Namun kekuasaannya beralih pada sautu wangsa baru yang mendirikan kratonnya lebih kearah timur, di Singasari (kini Malang). Namun pada tahun 1292 wangssa baru itu digulingkan oleh pemberontakan seorang pangeran dari Kadiri pula yang direndahkan sampai status seorang vassal. Krtanagara, raja Singasari, menemukan ajalnya ketika kratonnya diserang; tetapi putera menantunya,Wijaya, berhasil meloloskan diri dan menyusun perlawanan terhadap Kadiri. Ia mengandalkan bantuan dari pasukan Cina yang mau menghukum Krtanagara yang sudah tewas diserang Kadiri. Setelah Wijaya berhasil menang melawan Kadiri, ia pun memaksa bantuan dari Cina mengundurkan diri. Dengan memakai nama Krtarajasa ia menjadi penguasa pertama yang memimpin kerajaan Majapahit yang selama abad ke-14 dan ke-15 tidak hanya merupakan kekuatan utama di Jawa Timur dan Jawa Tengah, melainkan berpengaruh pula di luar Jawa dalam bidang politik dan kebudayaan.
Yang paling penting adalah ekspedisi Majapahit melawan Bali pada tahun 1343 mengakibatkan kekalahan raja utama di sana, sehingga kerajaan harus tunduk pada Majapahit. Setelah Bali kalah dengan Majapahit, suatu wangsa didirikan di Bali Selatan, bagian tengah. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa kraton-kraton di Bali mengalami suatu proses “jawanisasi” yang sistematis. Pada abad ke-14 Bali masuk dalam lingkup pengaruh Hindu-Jawa, berbagai kebudayaan dan religi; dan sebagai konsekuensi, bahwa semenjak saat itu Bali harus dipandang sebagai suatu bagian dari kebudayaan Hindu-Jawa. Karya-karya yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno diciptakan; karya-karya itu mengikuti tradisi yang sudah berlaku dengan demikian dekat dan mengandung demikian sedikit unsure yang dapat diidentifikasikan sebagai khas Bali, sehingga sukar, bahkan kadang-kadang mustahil, membedakan karya-karya asli yang ditulis di Jawa sendiri. Bali sangat memberikan banyak sumbangan bagi sastra Jawa Kuno, karena sastra Jawa Kuno diselamatkan sampai hari ini juga.
Pada bagian kedua abad ke-14 kekuasaan Majapahit dalam bidang politik mencapai puncaknya. Akan tetapi pada abad berikutnya kekuasaan itu makin cepat mundur . daerah-daerah yang dipersastukan di dalam kawasan kerajaan Majapahit dan yang dulu merupakan kerajaan-kerajaan kecil seperti Kahuripan (Janggala), Tumapel (Singasari), Lasem dan Daha (kadiri) dimana kraton-kraton wangsa-wangsa pangeran yang telah silam tetap merupakan propinsi. Pada decade akhir abad ke-15 Daha (kadiri)lah yang paling berpengaruh diantara kerajaan-kerajaan kecil yang saling bersaingan itu; dan mungkin juga pada periode terakhir dalam sejarah kerajaan Majapahit, menjelang keruntuhannya, raja Daha-lah yang memegang sisa-sisa kekuasaan sentral yang pernah jaya itu.
Dalam bentuk religiusnya Hindu javanisme (ajaran hindu pada masa kerajaan Hindu-Jawa) mungkin hanya dapat bertahan di pedalaman, tetapi disana pun tapak demi setapak terhadap agama islam yang makin meluas. Hanya di sebuah kerajaan kecil pada ujung pulau Jawa, yaitu di Blambangan, yang berhadapan dengan pulau Bali, Hindu-Jawa masih dapat bertahan untuk beberapa waktu. Tetapi pada akhir abad ke-17 kerajaan itu pun musnah, maka lengkaplah peralihan Jawa kepada Islam. Ini menandakan tamatnya sastra Jawa Kuno yang selama enam abad mewujudkan kebudayaan Hindu-Jawa.
Kondisi-kondisi agar sastra Jawa Kuno itu tetap dapat bertahan dan melangsungkan eksistensinya sebagai peninggalan mati dari masa yang telah silam dan telah lenyap. Pertama lenyaplah kraton-kraton, baik sentral maupun regional, dimana sastra itu dipelihara dan karya-karya diawetkan dengan seksama dan terus-menerus diperbaharui oleh para juru salin. Menyusullah pusat-pusat keagamaan yang pernah memainkan peranan serupa dalam kalangan religius biarpun pusat-pusat tersebut mungkin dapat bertahan sedikit lebih lama. Tetapi kelangsungannya terus terancam dan ini pasti tidak menguntungkan kegiatan sastra. Pusat-pusat kebudayaan pun lenyap pada waktunya. Maka dari itu kita tidak perlu membayangkan, bahwa peninggalan masa silam yang “kafir” itu dengan sengaja dan besar-besaran dihancurkan, biarpun itu terjadi disana sini.
Hal ini memang dilaporkan dalam cerita-cerita setengah-tengah legendaries yang berkaitan dengan runtuhnya Majapahit dan peralihan dari agama Hindu ke agama Islam. Dalam cerita itu dilukiskan, bagaimana Sultan Demak merebut kraton Majapahit dengan kekerasan lalu melaporkan peristiwa kepada rapat para Wali Sanga yang konon kabarnya merintis dan mempropagandakan agama baru itu. Menurut laporannya ia menyerahkan kraton itu kepada para pengikutnya untuk dirampok dan atas perintahnya semua buku buda dibakar. Yang dimaksudkan ialah semua buku dari periode Hindu-Jawa yang dianggap keramat. Dengan tindakan yang radikal itu tradisi dan agama “Buddha” kehilangan kesaktiannya. Sunan Bonang dan para wali lainnya tersenyum danmengangguk-anggukkan kepala sambil berkata : “itu membuktikan kebijaksanaan yang mendalam dan akal sehat. Selama masih ada buku-buku yang menerangkan pandangan agama “Buddha”, orang-orang Jawa akan bertahan pada kekafiran mereka, mungkin untuk seribu tahun lagi, dan mereka tidak akan pernah dapat diajak untuk ganti agama dengan mengikuti hokum Rasulullah, apalagi untuk bertobat dan menyerukan Nama Allah serta Muhammad sebaga RasulNya.
Namun karena masih adanya cerita Ramayana dan Mahabharata tetap memikat imajinasi rakyat Jawa, usaha-usaha untuk menggantikan mereka dengan tikoh-tokoh sejarah Islam awalnya hanya terbatas saja keberhasilannya dan terbatas pada suatu kelompok masyarakat saja. Tetapi para Pandawa tetap mempertahankan popularitas mereka dan tidak pernah disangsikan, bahwa mereka lebih unggul daripada tokoh-tokoh yang baru diciptakan, seperti misalnya Amir Hamza. Dalam silsilah-silsilah para wangsa baru yang memeluk agama Islam, para Pandawa bahkan berhasil mendudukkan ini sebagai leluhur mereka.
Tetapi dalam sastra tertulis, hanya sedikit saja yang dapat bertahan dalam masa pancaroba itu. Beberapa perkecualian ialah sejumlah syair Jawa Kuno yang paling dikenal dan disukai, khususnya Ramayana dan Arjunawiwaha. Ketika pada akhir abad ke-18 di kalangan kraton Surakarta terjadi suatu gerakan sastra yang menghasilkan berbagai karya seni yang bermutu, maka syair-syair pra-Islam itu yang menyediakan tema pokoknya dan berfungsi sebagai contoh bagi Jawa Modern. Tetapi syair-syair yang diubah itu maupun keadaan naskah-naskah yang merupakan salinan terhadap contoh asli seperti terdapat di Jawa,membuktikan, betapa sedikit yang masih dekatahui mengenai bahasa Jawa Kuno. Dalam kurun runtuhnya Majapahit dan gerakan-gerakanpembaharuan di Surakarta perhatian terhadap sastra Jawa Kuno telah turun dan bahkan hampir lenyap seluruhnya. Maka tidak mengherankan bahwa usaha untuk menyalin naskah-naskah yang mutlak perlu untuk mengawetkannya.
Di Bali kraton-kraton tetap merupakan penjaga-penjaga setia bagi warisan kebudayaan Hindu-Jawa dan kasta Brahmin tetap memperhatikan serta mempelajari tulisan-tulisan keagamaan kuno itu. Di Bali sastra Jawa Kuno semula ditulis dan kemudian, jauh di kemudian hari, sekurang-kurangnya dibaca dan dipelajari, biarpun tidak selalu dimengerti sampai pada segala seluk beluk yang khas itu. Karena hal itu praktis tidak berubah sampai pada jaman kita. Berkat situasi ini kitaa masih memiliki hasil karya sastra Jawa Kuno.
4.            BAHASA JAWA KUNO DAN PERTENGAHAN; KAKAWIN DAN KIDUNG; KESUSTRAAN
Istilah Jawa Kuno dipakai dalam arti yang seluas-luasnya sambil mengesampingkan sastra Jawa Modern. Adanya Jawa Pertengahan merupakan bentuk bahasa pada akhir jaman Hindu Jawa dan suatu tahap peralihan antara Jawa Kuno seperti kita jumpai dalam kakawin-kakawin klasik dan bahasa Jawa Modern dari abad-abad kemudian.
Terdapat dua macam puisi yang berbeda satu dengan yang lain, terutama karena metrum-metrumnya, yaitu jenis kakawin dan kidung. Yang pertama menggunakan metrum dari India, sedangkan yang kedua metrum asli Jawa atau Indonesia. Tidak hanya metrum yang membedakan, akan tetapi dalam bahasanya juga terdapat suatu perbedaan; dalam kakawin dipakai bahasa Jawa Kuno sebenarnya, sedangkan kidung dipakai Jawa Pertengahan.
Jawa Kuno dan Jawa Pertengahan seolah-olah untk menggambarkan perbedaan menurut waktu, seakan-akan Jawa Pertengahan berkembang dari Jawa Kuno. Hal ini memperkuat kepercayaan bahwa beberapa kakawin dalam Jawa Kuno mungkin lebih muda dari kidung dalam Jawa Pertengahan. Kebanyakan kidung ditulis di Bali, kita dapat bernalar bahwasemua sastra Jawa Pertengahan yang kita kenal berasal dari Bali. Kemungkinan sastra kidung di Bali merupakan kelanjutan daripada suatu bentuk sastra yang berasal dari Jawa.
Pernyataan istilah Jawa Pertengahan memberi gambaran seolah-olah merupakan suatu bentuk peralihan, atau semacam jembatan antara Jawa Kuno dan Jawa Modern. Akan tetapi hal itu merupakan suatu kesimpulan yang salah, namun sering orang berkata demikian. Karena bahasa Jawa Pertengahan yang kita kenal dari sastra kidung merupakan sebuah jembatan yang tidakmenuju ke apapun. Hal ini dikarenakan Jawa Pertengahan dipakai dalam kalangan kraton-kraton di Bali dan untuk sebagian besar ditulis pada suatu waktu ketika hubungan dengan pulau Jawa praktis terputus. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana mungkin Jawa Modern berkembang dari Jawa Kuno?. Sedangkan bahasa Jawa Modern sendiri mulai dipakai pada jaman para pujangga (akhir abad ke-18 awal abad ke-19).
Pada abad ke-16, terdapat bahasa Jawa Kuno seperti dalam kakawin yang di tulis di Bali berdampingan dengan Jawa Pertengahan seperti nampak pada sastra kidung di Bali serta Jawa Modern seperti terdapat karya tentang agama islam.
Ada sebuah hipotesa yaitu bahwa Jawa Pertengahan dan Jawa Modern merupakan dua cabang terpisah divergen pada batang bahasa yang satu dan sama. Menurut hipotesa ini Jawa Kuno merupakan bahasa umum selama periode Hindu-Jawa sampai runtuhnya kerajaan Majapahit. Kedatangan agama islam memecahkan kesatuan cultural itu menjadi dua bagian yang jelas berbeda dan yang masing-masing tercermin dalam bidang linguistic. Sejak saat itu Jawa Kuno berkembang menurut dua arah yang berlainan dan menumbuhkan Jawa Pertengahan di satu pihak dan Jawa Modern di pihak lain.


No comments:
Write komentar